Pada saat ini, kita sebagai manusia dituntut untuk bisa beradaptasi dalam membangun peradaban dalam situasi apapun. Salah satu caranya, dengan bekerja secara cerdas. Berbicara soal etos kerja secara umum, maka kerja secara cerdas dapat dikatakan sebagai ciri khas dari keyakinan seseorang ataupun kelompok, seperti perilaku kebiasaan, pengaruh budaya, serta nilai-nilai yang diyakini.
Adapun pandangan Islam tentang etos kerja, bahwa makhluk hidup di bumi sudah mendapatkan jaminan rezeki dari Allah, namun kemalasan tidak punya tempat dalam Islam, Karena tidak adanya paham nasib atau fatalisme dalam islam.,Allah berfirman; “…maka carilah rezeki di sisi Allah, kemudian beribadah dan bersyukurlah kepada Allah. Hanya kepada Allah kamu akan dikembalikan” (Qs Al-Ankabut: 17).
Pada ayat lain juga dikatakan, dijadikannya siang terang agar manusia mencari rezeki dari Allah (Qs Al-Isra: 12), terlihatnya bahtera berlayar di lautan agar manusia mencari karunia Allah (Qs An-Nahl: 14), adanya malam dan siang agar manusia beristirahat pada waktu malam dan bekerja pada waktu siang (Qs Al-Qashash: 73). Kemudian menurut riwayat Al-Baihaqi dalam ‘Syu’bul Iman’ ada empat prinsip etos kerja yang diajarkan Rasulullah. Keempat prinsip itu harus dimiliki kaum beriman jika ingin menghadap Allah dengan wajah berseri bak bulan purnama.
Pertama, bekerja secara halal (thalaba ad-dunya halalan). Halal dari segi jenis pekerjaan sekaligus cara menjalankannya. Antitesa dari halal adalah haram, yang dalam terminologi fiqih terbagi menjadi ‘haram lighairihi’ dan ‘haram lidzatihi’. Haram lighairil adalah haram yang disebabkan oleh hal lain yang membuatnya menjadi haram. Sedangkan haram lidzatihi adalah segala sesuatu yang diharamkan karena jenisnya.
Analogi dari haram Lighairi, kita ambil contoh pekerjaan sebagai wakil rakyat di parlemen, pekerjaan tersebut jenisnya halal, namun jika jabatan tersebut disalahgunakan, maka status hukumnya jelas menjadi haram, Kemudian analogi dari haram lidzatihi, kita ambil contoh seorang preman, dimana jenis pekerjaan tersebut memang sudah haram dari asalnya.
Kedua, bekerja demi menjaga diri supaya tidak menjadi beban hidup orang lain (ta’affufan an al-mas’alah). Kaum beriman dilarang menjadi benalu bagi orang lain. Sebab, Rasulullah pernah menegur seorang sahabat yang muda dan kuat,tetapi pekerjaannya mengemis. Beliau kemudian bersabda, “Sungguh orang yang mau membawa tali atau kapak kemudian mengambil kayu bakar dan memikulnya diatas punggung lebih baik dari orang yang mengemis kepada orang lain , diberi atau ditolak”. (HR Bukhari dan Muslim). Setiap pekerjaan asalkan itu halal tetaplah mulia dan terhormat dalam Islam.
Hal ketiga yang harus kita pahami, bahwa bekerja demi mencukupi kebutuhan keluarga (sa’yan ala iyalihi) hukumnya fardlu ain. Maksdunya adalah tidak dapat diwakilkan, dan menunaikannya termasuk kategori jihad. Rasulullah SAW pun bersabda, “Tidaklah seseorang memperoleh hasil terbaik melebihi yang dihasilkan tangannya. Dan tidaklah sesuatu yang dinafkahkan seseorang kepada diri, keluarga, anak dan pembantunya, kecuali dihitung sebagai sedekah” (HR Ibnu Majah).
Terakhir yang harus kita laksanakan yakni bekerja untuk meringankan beban hidup tetangga (ta’aththufan ala jarihi). Islam mendorong kerja keras untuk kebutuhan diri dan keluarga, tetapi Islam juga melarang kaum beriman bersikap egois. Islam telah menganjurkan solidaritas sosial dan mengecam keras sikap tutup mata dan telinga dari jerit tangis lingkungan sekitar. “Hendaklah kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian harta yang Allah berikan kepadamu dan berkuasa atasnya.” (Qs Al-Hadid: 7). Setelah memenuhi empat prinsip di atas, nilai sebuah pekerjaan akan diukur dari kualitas niat (shahihatun fi an-niyat) dan pelaksanaannya (shahihatun fi at-tahshil). Itulah pekerjaan yang bernilai ibadah dan kelak akan mengantarkan pelakunya ke pintu surga.(*)
Sumber:
https://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/13/03/21/mjzgo9-empat-prinsip-etos-kerja-islami